Kasus gizi buruk di 2010 ini mengalami peningkatan dari 2009 lalu. Mulai Januari hingga 19 Mei 2010, tercatat sebanyak tujuh orang balita asal Kabupaten Kuansing mengalami kasus gizi buruk.
Kasus gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Kuansing sampai dengan Mei 2010 terdapat tujuh orang balita penderita. Ketujuh balita yang mengalami kasus gizi buruk yakni, Salma Aura asal Muara Lembu Kecamatan Singingi, usia 30 bulan saat ditemukan dengan berat badan 8,3 kilogram, tinggi badan 82,3 cm, yang mengalami penyakit penyerta kelainan jantung, yang akhirnya meninggal dunia 9 Februari 2010 lalu.
Selanjutnya, Sakbani asal Muara Lembu, Kecamatan Singingi, usia 4 tahun saat ditemukan berat badan 9,1 kilogram, tinggi badan 81,2 cm, mengalami anemia sebagai penyakit penyerta dan ditemukan pada 23 Maret 2010 dengan status Maramus Kwashiorkor. Nara Triwisalian asal Muara Lembu Kecamatan Singingi, usia 9 bulan, saat ditemukan 23 Maret 2010 berat badan 5,1 kilogram, tinggi badan 63,4 cm mengalami penyakit penyerta flu paru-paru dengan status Maramus.
Acha Uli Septina asal Desa Lubuk Ramo, Kecamatan Kuantan Mudik, usia tiga bulan, saat ditemukan berat badan 2,8 kilogram, tinggi badan 53 cm, mengalami penyakit penyerta labio palato yang memiliki tanda klinis 23 April 2010. Ahmad Fikri asal Desa Sukaping Kecamatan Pangean, usia 12 bulan, berat badan 6,4 kilogram, tinggi badan 68 cm, mengalami scoring TB yang ditemukan 7 Mei 2010. Revi Yandra asal Desa Siberakun Benai, usia 20 bulan, berat badan 7,5 kilogram, tinggi badan 72 cm, mengalami penyakit penyerta febris gizi buruk yang ditemukan 11 Mei 2010 lalu. Terakhir, Martini usia 14 bulan asal Desa Pebaun Hilir Kecamatan Kuantan Mudik yang baru masuk 19 Mei 2010 di RSUD Teluk Kuantan
Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Kuansing dr Hoppy Dewanto Mkes yang dikonfirmasi Riau Pos, Kamis (20/5). Rata-rata, kata Hoppy, balita yang mengalami kasus gizi buruk ini, berasal dari keluarga kurang mampu dan miskin. Kasus gizi buruk dikarenakan adanya penyakit penyerta yang didera balita yang bersangkutan. Misalnya, diare, panas tinggi yang tak henti-hentinya sehingga berdampak pada penurunan fisik balita yang bersangkutan. ‘’Kasus gizi buruk itu, sudah ujung-ujungnya atau klimaks dari penyakit yang didera balita yang bersangkutan,’’ kata Hoppy.
Selain itu, kasus gizi buruk terjadi kurang terkontrolnya kondisi kesehatan masyarakat di tingkat pedesaan. Padahal, Dinas Kesehatan sudah jauh-jauh hari menginstruksi pada puskesmas, pustu, poskesdes maupun posyandu untuk melakukan sosialisasi pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan. Namun, para orang tua masih jarang memanfaatkan sarana dan fasilitas yang sudah disiapkan pemerintah tersebut.
Akibatnya, kondisi kesehatan masyarakat terutama balita tidak terkontrol. Sehingga kegiatan ini bertujuan agar penyakit masyarakat bisa diketahui secara dini. Selain itu, penanganan kasus gizi buruk, harus dilakukan lintas sektoral. Misalnya, soal gizi dan pangan masyarakat.
Untuk penanganan kasus gizi buruk, bila ada temuan, Dinas Kesehatan mengusulkan pembiayaannya pada Bagian Kesra Setda Kuansing. Begitu juga dengan dua balita yang masih dirawat di RSUD saat ini.SOurce:Riaupos.com